KERAJAAN
HOLING
1.
Sejarah
Pada abad ke 7 di Jawa
Tengah bagian utara sudah berdiri satu kerajaan,kerajaan itu bernama
Holing.Berita Cina berasal dari Dinasti T'ang yang menyebutkan bahwa letak
Kerajaan Holing berbatasan dengan Laut Sebelah Selatan, Ta-Hen-La (Kamboja) di
sebelah utara, Po-Li (Bali) sebelah Timur dan To-Po-Teng di sebelah Barat. Nama
lain dari Holing adalah Cho-Po (Jawa), sehingga berdasarkan berita tersebut
dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Holing terletak di Pulau Jawa, khususnya Jawa
Tengah.
J.L. Moens dalam
menentukan letak Kerajaan Holing meninjau dari segi perekonomian, yaitu
pelayaran dan perdagangan. Menurutnya, Kerajaan Holing selayaknya terletak di
tepi Selat Malaka, yaitu di Semenanjung Malaya. Alasannya, Selat Malaka
merupakan selat yang sangat ramai dalam aktifitas pelayaran perdagangan saat
itu. Pendapat J.L. Moens itu diperkuat dengan ditemukannya sebuah daerah di
Semenajung Malaya yang bernama daerah Keling.
Menurut
Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760, pada tahun 664 Masehi kerajaan Holing
dipindahkan oleh Ki-Yen ke arah Timur dan berlanjut dengan nama Kerajaan
Kanjuruhan
2. Sumber Sejarah
I-Tsing
menyebutkan bahwa seorang temannya bernama Hui-Ning dengan pembantunya bernama
Yunki pergi ke Holing tahun 664/665 M untuk mempelajari ajaran agama Budha. Ia
juga menterjemahkan kitab suci agama Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa
Cina. Dalam menerjemahkan kitab itu, ia dibantu oleh pendeta agama Budha dari
Holing yang bernama Jnanabhadra. Menurut keterangan dari Dinasti Sung, kitab
yang diterjemahkan oleh Hui-Ning adalah bagian terakhir kitab Parinirvana yang
mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Budha.
3. Kehidupan Pemerintahan
Berdasarkan
berita Cina disebutkan bahwa Kerajaan Holing diperintah oleh seorang raja putri
yang bernama Ratu Sima. Pemerintahannya berlangsung dari sekitar tahun 674
masehi.
Pemerintahan
Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Kepada setiap pelanggar,
selalu diberikan sangsi tegas. Rakyat tunduk dan taat terhadap segala perintah
Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau pejabat kerajaan yang berani
melanggar segala perintahnya.
Suatu
saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan ketaatan rakyat
Ho-ling terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi uang di jalan
di tengah kota. Ternyata tak ada seorangpun menyentuh atau mengambilnya. Hingga
suatu hari secara tidak sengaja kaki Putra Mahkota menyentuh pundi-pundi itu.
Maka Ratu Sima memerintahkan agar anaknya di potong kakinya sebagai hukuman.
Karena hukuman itu dirasa terlalu berat, para penasehat Ratu memohon agar
hukuman diperingan, namun Ratu berkeras. Setelah didesak, Ratu Sima memutuskan
untuk memperingan hukumannya. Kaki putra mahkota tidak jadi dipotong tetapi
hanya jari-jari kakinya saja.
Putri
Maharani Shima, Parwati, menikah
dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian
menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Maharani
Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja
ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan
Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang
kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh (723-732 M).
Setelah
Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan
menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian
mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram
Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat
diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan
Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi
Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan
atau Bumi Sambara, dan memiliki
putra yaitu Rakai Panangkaran.
4. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan
perekonomian masyarakat Kerajaan Holing berkembang pesat. Masyarakat Kerajaan
Holing telah mengenal hubungan perdagangan. Mereka menjalin hubungan
perdagangan pada suatu tempat yang disebut dengan pasar. Pada pasar itu, mereka
mengadakan hubungan perdagangan dengan teratur. kegiatan ekonomi masyarakat
lainnya diantaranya bercocok tanam,menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula
badak dan gading.di Holing ada sumber air asin yang dimanfaatkan untuk membuat
garam. Hidup rakyat Holing tenteram, karena tidak ada kejahatan dan kebohongan.
Berkat kondisi itu rakyat Ho-ling sangat memperhatikan pendidikan.Buktinya
rakyat Ho-ling sudah mengenal tulisan,selain tulisan masyarakat Ho-ling juga
telah mengenal Ilmu perbintangan dan dimanfaat dalam bercocok tanam.
5. Kemunduran Kerajaan Holing
Keterangan
tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan
catatan dari negeri Cina.
Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi
bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan
Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan
Sriwijaya-Buddha.
KERAJAAN
KANJURAHAN
1. Sejarah
Kanjuruhan adalah
sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang
sekarang. Kerajaan tertua di Jawa
Timur ini dapat diketahui dari prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M pada abad
ke-6 Masehi di antara Sungai Brantas dan Sungai
Metro, di lereng sebelah timur Gunung Kawi .Di dataran yang sekarang
bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
2. Sumber – Sumber Sejarah
Bukti tertulis
mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun 682
saka atau tahun 760 M. Disebutkan seorang Raja yang bernama Dewa
Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha
mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan
ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Peninggalan
lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.
Sebuah berita dari
prasasti Wuradung, jaman Mpu Sindok (929-947) menyebutkan bahwa ada gugusan kayangan
di Kanuruhan (seiring waktu, nama Kanjuruhan berubah menjadi Kanuruhan). Di
yakini bahwa candi yang dimaksud adalah situs Karuman.
3. Kehidupan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Raja
Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan,
sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan
segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang
sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh
membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai
pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja
Gajayana. Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang diberi nama Uttejana.
Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa,
ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran
Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah Kerajaan
Kahuripan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana meninggal.
Pada sekitar tahun 847 Masehi,
Kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Tengah yang diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu,
melakukan perluasan ke Pulau Jawa bagian timur, tanpa peperangan. Hal ini
praktis membuat Kerajaan Kanjuruhan dibawah kekuasaan Kerajaan
Mataram Kuno. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah
di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam
struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno zaman Raja Balitung, Raja Kerajaan Kanjuruhan lebih
dikenal dengan sebutan Rakryan
Kanuruhan, artinya “Penguasa
daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan
sendiri diartikan perubahan bunyi dari kata Kanjuruhan.
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan disebut Watak
Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi
berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat
ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak
Kanuruhan membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas
lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan
Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.
Dari sekian data nama-nama desa
(wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber
tertulis berupa prasasti yang
ditemukan disekitar kota Malang adalah sebagai berikut :
- Daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),
- Daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),
- Daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
- Daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
- Daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
- Daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanjuruhan),
- daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.
Secara turun-temurun Kerajaan
Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha.
Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaan, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Rakyat Kanjuruhan pun mencintai rajanya. Dengan demikian rakyat hidup
aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka. serta upaya pemberontakan.
Pulau Jawa terkenal dengan daerah
agraris, dan di daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas
kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat pemerintahan. Rupa-rupanya
sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Budha yang menyebar di seluruh
kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M
sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena
Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas
pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.
4.
Kehiidupan Ekonomi
Kerajaan Kanjuruhan
memiliki populasi penduduk terbesar, sekitar 2,000 jiwa tinggal disana. kondisi alam
yang subur dan keamanan yang tertib membuat Kanjuruhan berkembang dengan baik
secara ekonomi. Selain menjalin perdagangan dengan kerajaan lokal lain, mereka juga membuka rute perdagangan dengan
Kediri dan Mataram. Dari sinilah kemudian pengaruh kebudayaan dan agama Hindu
Syiwa masuk ke Kanjuruhan
5. Kemunduran
Walaupun Kerajaan Kanjuruhan telah
berdiri dibawah Raja Gajayana, tapi ketidak sadaran akan pentingnya
peng-kader-an akhirnya menjadi boomerang bagi kerajaan ini. Setelah Gajayana
meninggal, Kanjuruhan tidak dapat mencari pengganti atau penerus kerajaan ini
sehingga Kerajaan Kanjuruhan kembali menjadi sebuah daerah lokal biasa lagi.
KERAJAAN SRIWIJAYA
1.
Berdirinya
Pengetahuan mengenai sejarah
Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis
karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.
Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama
sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan
bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan
Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca,
Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah
Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi
atau sekitar kota Palembang sekarang.
Dari tepian sungai musi di Sumatra selatan,
pengaruh kerajaan sriwijaya terus meluas yang mencakup Selat Malaka, Selat
Sunda, Selat Bangka, laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin
juga Jawa Barat (tarumanegara), semenajung Malaya hingga tanah Genting Kra.
Luasnya wilayah laut yang dikusai Sriwijaya menjadikan Sriwijaya sebagai
kerajaan maritime yang besar pada zamannya.
2.
Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah
yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing
dan prasasti-prasasti, yaitu:
Sumber Asing
a. Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama
adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih
dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta
Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta
Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar
bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah
lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan
tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Cina.
Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya
yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.
b. Sumber Arab
Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan
itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang
sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
c. Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja
dari kerajaan yang ada di India seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan
Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan
sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda
d. Sumber lain
Pada tahun 1886 Beal mengemukakan pendapatnya bahwa,
Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi,
Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa,
Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi.
Pada tahun 1913 M,
Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang
ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang
tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya
digunakan sebagai sebutan atau gelar raja
Sumber Lokal atau Dalam Negeri
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang
dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut
a. Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M,
menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan
perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213
tentara yang berjalan kaki.
b. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja
Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang
berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya
menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah
daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan
c. Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang
pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
d. Prasasti Karang Berahi
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman
Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
e. Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu
kota Ligor dengan tujuan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
f. Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja
terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat
kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu,
Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan
Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa
Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
g. Prasasti Telaga Batu.
Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada
tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh
kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil
tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan
untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat.
Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan
keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan,
prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya
Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
3. Kehidupan
pemerintahan dan Silsilah
Kekuasaan
tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada
tiga persyaratan yaitu:
1. Samraj,
artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra
menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden.
Belum diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja.
Salah satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas
sebagai panglima perang.
Salah satu
cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta
Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri
kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan
seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu
kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan
dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari
pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang
menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah
para raja Sriwijaya:
Silsilah
1. Dapunta
Hyang Sri Jayanasa (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
2. Cri
Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
3. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
4. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
5. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
6. Balaputradewa
(prasasti Nalanda, 860).
7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
8. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
9. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun
1003, prasasti Leiden, 1044)
10. Maraviyayatunggawarman
(prasasti Leiden, 1044).
11. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti
Chola, 1044).
Kerajaan
Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman
keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan
ini berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan
munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.
4. Kehidupan ekonomi
perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi
pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan
atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki
aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga,
gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari
vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan
tanah Arab, kemungkinan utusan
Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat
kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718 kembali ke Sriwijaya dengan membawa
hadiah Zanji (budak wanita
berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya (Sri
Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara
kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak,
terutama Fujian, kerajaan
Min dan kerajaan Nan Han
dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi
Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim,
mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur
pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan
strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal
dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
5. Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Akibat dari persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan,
Raja Rajendra Chola melakukan dua kali penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya.
Bahkan pada penyerangganya yang kedua, Kerajaan Chola berhasil menawan Raja Cri
Sanggrama Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan bandar-bandar
penting Kerajaan Sriwijaya.
Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran
yang luar biasa. Kerajaan besar di sebelah utara, seperti Siam. Kerajaan Siam
yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan memperluas wilayah kekuasaannya
ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil menguasai daerah semanjung Malaka,
termasuk Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut,
kegiatan pelayaran perdagangan Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya
menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah Palembang,
pada abad ke-13 (1377 M) Kerajaan Sriwijaya di hancurkan oleh Kerajaan
Majapahit.
KERAJAAN
SWARNABHUMI ( Melayu Jambi )
1. Sejarah
Jambi merupakan wilayah
yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut
dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini merupakan bukti
bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut
dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di
Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5).
Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak
meninggalkan jejak sejarah.
Dalam sejarahnya, negeri ini
pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari,
Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan
merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan
temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Koying, Tupo dan
Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai
kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun
961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada
awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan
Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang
berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih
gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari
negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan
daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan
yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9
hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah
mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca
abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan Swarnabhumi di daerah
ini pada pertengahan abad ke-14 M.
Sebelum bercerita lebih
banyak mengenai Aditywarman, ada baiknya tulisan ini diawali dengan pemaparan
sejarah leluhur Adityawarman di tanah Melayu ini. Ketika Sriwijaya berdiri,
Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya
runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para
bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan
bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi
saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian,
sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan
Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.
Kerajaan Melayu Jambi
mulai berkembang lagi, saat itu, namanya adalah Dharmasraya. Sayang sekali,
hanya sedikit catatan sejarah
mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri
Tribhuana RajaMauliwarmadhewa (1270-1297)
menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian
lahir dua orang putri: Dara
Jingga dan Dara Petak
Menjelang akhir abad
ke-13, Kartanegara mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan
nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara berhasil
menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan
Babad Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Jambi
pada tahun 1275 M.
Pada tahun 1286 M,
Kartanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya.Raja dan rakyat Dharmasraya
sangat gembira menerima persembahan dari Kartanegara ini. Sebagai tanda
terimakasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan
dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara
Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Aditywarman.
Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan
Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan Jayakatwang dan pasukan Kubilai
Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul Kerajaan Majapahit dengan raja pertama
Raden Wijaya. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk
diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Ketika
Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri
Jayanegara.
Demikianlah, keturunan Dara
Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Aditywarman, menjadi
salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M,
Adityawarman dikirim kembali ke Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus
daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia
bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha
untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah
daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan
Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh
kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Jambi
saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Aditywarman ini
kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah
menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau.
Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari
wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi
sekitar pertengahan abad ke-14.
Ketika Kerajaan Malaka muncul
sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi
bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi
merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di
tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian,
muncul Kerajaan Johor-Riau di perairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan
Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini.
Jambi memainkan peranan yang
sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka.
Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat
berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha
untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi
beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali
pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan,
Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari
kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian
meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang
Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.
2. Silsilah dan
Kehidupan Pemerintahan
Di masa Kerajaan
Dharmasraya, raja yang dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297). Sementara raja-raja yang lain, belum
didapat data yang lengkap. Di masa Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling
terkenal adalah Aditywarman. Namun, ketika bergabung dengan Minangkabau, maka
silsilah raja yang ada merupakan silsilah raja-raja Minangkabau.
Agak rumit memaparkan
bagaimana periode pemerintahan berlangsung di Jambi, jika pemerintahan tersebut diandaikan
sebuah kerajaan merdeka yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan
sedikit data sejarah yang tersedia, tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari
pengaruh kerajaan lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika
Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut
beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi
pusat pemerintahan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan
Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari
runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan
Aditywarman. Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi
menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul
sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah
Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian
dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap
kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.
3. Peninggalan-Peninggalan
Peninggalan-peninggalan berupa prasasti Adityawarman yang
mengungkap sejarah Kerajaan Melayu.
4.
Keadaan Ekonomi
Di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang telah baik berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan
benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah
hidup dengan mengandalkan perdagangan terlihat
dari daerah Jambi dilalui jalur perdagangan dan penduduknya telah hidup dengan
tingkat budaya yang tinggi.
5.
Kemunduran
Faktor-faktor
yang menyebabkan kerajaan ini mengalami kemunduran yaitu:
1. Persaingan dengan Kerajaan Sriwijaya
Berita
dari musafir I Tsing tahun 692M ketika ia datang ke Sriwijaya, ternyata
Kerajaan Melayu telah dikuasai Sriwijaya. Hal itu berarti, Sriwijaya telah
mengembangkan kekuasaan dengan menguasai Melayu.
2. Menurut prasasti di Pagaruyung (di Minangkabau)
Pada tahun
1347 Raja Melayu bernama Adityawarman yang berdarah melayu dan majapahit
meluaskan kekuasaan sampai di Pagaruyung. Setelah itu, tampaknya Sriwijaya
menguasai lagi Kerajaan Melayu.
No comments:
Post a Comment