Politik
ekonomi liberal kolonial dilatar belakangi oleh :
1.
Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat Pribumi.
2.
Berkembangnya paham liberalisme sebagai akibat dari Evolusi Perancis dan
Evolusi Industri.
3.
Kemenangan partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah
Belanda menerapkan system Ekonomi Liberal di Negeri Jajahannya ( Indonesia ).
4.
Adanya Traktat Sumatera pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan dari Belanda
untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh.
Pelaksanaan
Politik Ekonomi Liberal itu dilandasi dengan beberapa peraturan :
1.
RR atau Undang-undang tentang tata cara pemerintahan di Indonesia.
2.
Peraturan tentang pembendaharaan Negara India-Belanda.
3.
Undang-undang Gula ( Suiker Wet ).
4.
Agrische Beskuit yang mengatur lebih rinci tentang Agraria.
Makna
Ekonomi Liberal
Periode
sejarah Indonesia 1870 – 1900 sering disebut sebagai masa liberalisme. Pada
periode ini kaum pengusaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk
menanamkan modalnya dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia terutama dalam
industri – industri perkebunan besar baik jawa maupun daerah – daerah luar
jawa. Selam amsa liberalisme ini modal swasta dari Belanda dan negara – negara
Eropa lainnya telah berhasil mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula dan
kina yang besar di Deli, Sumatera Timur.
Pada
tahun 1870 dikeluarkan Undang – Undang Agraria, yang bertujuan untuk melindungi
petani – petani Indonesia terhadap kehilangan hak milik atas tanah mereka terhadap
orang – orang asing. Sejak tahun ini industri – industri perkebunan Eropa mulai
masuk ke Indonesia. Terdapat perbedaan antara tanam paksa (culturestelsel)
dengan industri – industri perkebunan swasta pada masa liberal yaitu terlatak
pada bahwa dalam msa industri perkebunan liberal rakyat Indonesia bebas dalam
menggunakan tenaganya dan tanahnya, sedang dalam tanam paksa kedua alat
produksi itu dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Seiring berkembangnya dunia
pertumbuhan industri Indonesia juga berkembang dengan adanya terussan Suez pada
tahun 1869 yasng memperpendek jarak antara Eropa dengan Asia.
Zaman
liberal mengakibatkan ekonomi uang masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia
terutama Jawa. Penduduk pribumi mulai menyewakan tanah – tanahnya kepada
perusahaan – perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan – perkebunan
besar. Masuknya pengaruh ekonomi Barat juga melalui impor barang – barang dari
negeri Belanda. Hilangnya matapencaharian penduduk di sector tradisional
mendorong lebih jauh pengaruh system ekonomi uang, karena memaksa penduduk
untuk mencari pekerjaan pada perkebunan – perkebunan besar milik orang Belanda
atau orang Eropa lainnya. Lapangan kerja baru yang tumbuh seiring dengan
berkembangnya industri – industri perkebunan besar di Indonesia adalah
perdagangan perantara.
2.2
Perkembangan Ekonomi Hindia – Belanda
Kaum
liberal berharap bahwa dengan dibebaskannya kehidupan ekonomi dari segala
campur tangan pemerintah serta penghapusan segala unsure paksaan dari kehidupan
ekonomi akan mendorong perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Dengan Undang –
undang Agraria 1870 para pengusaha Belanda dan Eropa dapat menyewa tanah dari
pemerintah atau penduduk Jawa untuk membuka perkebunan – perkebunan besar.
Setelah
tahun 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan lamban dasn
terhambat, karena jatuhnya harga – harga gula dan kopi di pasaran dunia. Dalam
tahun 1891 harga tembakau turun drastis, sehingga membahayakan perkebunan –
perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Krisis tahun 1885 mengakibatkan
terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia – Belanda. Perkebunan –
perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik perseorangan, tetapi
direorganisasi sebagai perseroan – perseroan terbatas. Pimpinan perkebunan
bukan lagi pemiliknya secara langsung, tetapi oleh seorang manager, artinya
seorang pegawai yang digaji dan langsung bertanggungjawab kepada direksi
perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham.
2.3
Merosotnya Kesejahteraan Rakyat Indonesia
Krisis
perdagangan tahun 1885 juga mempersempit penghasilan penduduk jawa, baik uang
berupa upah bagi pekerjaan di perkebunan – perkebunan maupun yang berupa sewa
tanah. Politik kolonial baru yaitu kolonial – liberal, semakin membuat rakyat
menjadi miskin. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Kemakmuran
rakyat ditentukan oleh perbandingan antara jumlah penduduk dan faktor – faktor
produksi lainnya seperti tanah dan modal.
2. Tingkat
kemajuan rakyat belum begitu tinggi, akibatnya mereka menjadi umpan kaum
kapitalis. Mereka belum mengenal sarekat kerja dan koperasi untuk memperkuat
kedudukan mereka.
Penghasilan
rakyat masih diperkecil oleh system voorschot (uang muka)
Kepada
rakyat Jawa dipikulkan the burden of empire (pajak /beban kerajaan). Sebagai
akibat politik tidak campur tangan Belanda terhadap daerah luar jawa, pulau
Jawa harus membiayai ongkos – ongkos pemerintahan gubernmen diseluruh
Indonesia.
Keuntungan
mengalir di negeri Belanda, pemerintah juga tidak menarik pajak dari keuntungan
– keuntungan yang didapat para pengusaha kapaitalis. Pemerintah menganut system
pajak regresif, yang sangat memberatkan golongan berpendapatan rendah.
Krisis
tahun 1885 mengakibatkan terjadinya pinciutan dalam kegiatan pengusaha –
pengusaha perkebunan gula, yang berarti menurunnya upah kerja sewa tanah bagi
penduduk. Krisis ini diperberat dengan timbulnya penyakit sereh pada tanaman
tebu, sehingga akhirnya pulau Jawa dalam waktu lama dijauhi oleh kaum kapitalis
Belanda.
D.
Akibat Sistem Politik Liberal Kolonial
Pelaksanaan
politik liberal membawa akibat sebagai berikut :
1.
Bagi Belanda
Memberikan
keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta Belanda dan pemerintah kolonial
Belanda Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke neger
Belanda. Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajahan.
2.
Bagi Rakyat Indonesia
Kemerosotan
tingkat kesejahteraan penduduk. Adanya krisis perkebunan. Menurunnya konsumsi
bahan makanan. Menurunnya usaha kerajinan rakyat. Pengangkutan dengan gerobak.
Rakyat menderita karena masih menerapkan kerja rodi.
2.4
Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka
Pada
tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari
golongan liberalis dan humanitaris.
Kaum liberal dan
kapital memperoleh kemenangan
di parlemen. Terhadap tanah
jajahan (Hindia Belanda),
kaum liberal berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyat
Indonesia. Keberhasilan
tersebut dibuktikan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang
Agraria tahun 1870. Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870 berisi:
1)
Pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta, serta
2) Pengusaha
dapat menyewa tanah
dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya
UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1)
Memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha
dalam bidang perkebunan di Indonesia, dan
2) Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak
hilang (dijual).
UU
Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka
Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin.
Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah,
bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke
tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat
diekspor ke Eropa.
Selain
UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870.
Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para
pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1) Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah
akan dihapus secara bertahap, dan
2) Pada
tahun 1891 semua
perusahaan gula milik
pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan
adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan
modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Berikut
ini beberapa perkebunan asing yang muncul di Indonesia :
1) Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera
Utara.
Politik
pintu terbuka yang diharapkan dapat
memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin
menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia
semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria
memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut:
1) Dibangunnya fasilitas perhubungan dan
irigasi.
2) Rakyat menderita dan miskin.
3) Rakyat
mengenal sistem upah
dengan uang, juga
mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4)
Timbul pedagang perantara.
Pedagang-pedagang tersebut pergi
ke daerah pedalaman,
mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5)
Industri atau usaha
pribumi mati karena
pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan
pabrik-pabrik.
2.5
Pengaruh Politik Liberalis Bagi Indonesia
Sama
halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para pengikut aliran
liberalisme berpendapat bahwa negara seharusnya tidak campur tangan dalam
kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan-kekuatan pasar.
Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa
satu-satunya tugas negara adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum,
dengan demikian kehidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini
dapat diwujudkan, para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala
rintangannya yang sebelumya telah dibuat dihapuskan. (Poesponegoro, Marwati
Djoned: 121, 1993)
Ketika
orang-orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda (setelah
tahun 1850) mereka mencoba menerapkan azas-azas liberalisme di koloni-koloni
Belanda khususnya di Indonesia. Mereka berpendapat ekonomi Hindia-Belanda akan
berkembang dengan sendirinya jika diberi peluang sepenuhnya kepada
kekuatan-kekuatan pasar untuk bekerja sebagaimana mestinya. Dalam prakteknya
diartikan sebagai kebebasan berusaha dan adanya modal swasta Belanda untuk
mengembangkan sayapnya di Hindia-Belanda dalam berbagai usaha kegiatan
ekonomi. (Poesponegoro, Marwati Djoned:
121, 1993)
Bagi
bangsa Indonesia, politik liberalisme jelas merupakan ideologi yang dapat
mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara material, di dalamnya
terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan
sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya
secara material adalah upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan
untuk meruntuhkan kesepakatan politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat
nation state.
Politik
pintu terbuka ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van
Deventer mengecam pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri
induk dan negeri jajahan. Kaum liberal dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari
keuntungan tanpa memerhatikan nasib rakyat. Contohnya perkebunan tebu yang
mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran.
Dampak
politik pintu terbuka bagi Belanda sangat
besar. Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat pesat. Sementara
rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita. Oleh karena itu, van
Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat.
Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena Belanda
dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah
membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan
van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer. Isi
Trilogi van Deventer dan penyimpangan-penyimpangannya.
Berikut
ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1) Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan
pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu
peningkatan kesejahteraan penduduk,
2) Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan
pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya
manusia yang lebih baik,
3) Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu
perpindahan penduduk dari daerah yang padatpenduduknya (khususnya Pulau Jawa)
ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Pada
dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan
tersebut:
1) Irigasi
Pengairan
(irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta
Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2) Edukasi
Pemerintah
Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang
cakap dan murah Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada
anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi
diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak
pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada
anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3) Migrasi
Migrasi
ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan
perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang
besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di
Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan
kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak
yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang
menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya.
Walaupun
pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan harapan-harapan besar
mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi
koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat
Indonesia, namun pada akhir abad 19 terlihat jelas bahwa rakyat Indonesia
sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik dari sebelumnya.
Meskipun produksi untuk ekspor meningkat dengan pesat antara tahun 1870-1900,
namun pada akhir abad 19 mulai nampak bahwa orang-orang Indonesia di pulau Jawa
telah mengalami kemerosotan dalam taraf hidup mereka. Hal ini menimbulkan
kritik-kritik yang tajam di negeri Belanda. (Poesponegoro, Marwati Djoned:
123-124, 1993)
No comments:
Post a Comment